Langsung ke konten utama

MUHAMMADIYAH, NEOKOLONIALISME-IMPERIALISME




            Memasuki awal abad 20 kesadaran kolektif bangsa Indonesia untuk segera lepas dari kolonialisme bangsa Belanda semakin menguat, di awali dengan kelahiran organisasi pemuda Budi Utomo pada tangal 20 Mei 1908 kemudian di ikuti oleh beberapa organisasi lainnya. Sebagai bangsa terjajah menjadikan kondisi bangsa Indonesia berada pada titik terendah, segala akses menuju manusia “sebenarnya” nyaris tak di temukan, akses menuju perekonomian yang baik tak kunjung di dapat, akses mendapat Pendidikan juga mengalami kebuntuan utamanya mayoritas pribumi, terutama akses mendapatkan hak sebagai warga negara yang di dalamnya termasuk kebebasan menjalankan kehidupan beragama. Inilah sebuah permasalahan bersama yang terus dirasakan bersama oleh seluruh masyarakat Indonesia pada saat itu.
            Permasalahan-permasalahan yang sedemikian kompleks inilah yang kemudian melahirkan organisasi-organisasi yang tidak hanya berfokus pada perjuangan kemerdekaan namun juga organisasi-organisasi yang berupaya mengangkat harkat martabat bangsa melalui segala bidang, maka pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H atau tepatnya 18 November 1912 lahirlah Muhammadiyah. Sebuah kelahiran yang menjadi keniscayaan, sebuah kelahiran yang seakan menjawab banyak permasalahan yang di hadapi bangsa Indonesia sebagai negara terjajah.
 Pendidikan dan kemandirian Ekonomi serta Pemurnian Agama Islam menjadi fokus awal yang di garap oleh KH. Ahmad Dahlan sebagai pendiri, yang pada perjalanannya mampu pula menggarap banyak bidang, termasuk kesehatan dan kesejahteraan sosial secara lebih luas. ‘Gerakan Pembaruan Pemikiran Keagamaan’ seakan menjadi julukan akrab bagi Muhammadiyah mengingat banyaknya gebrakan-gebrakan yang di buat Muhammadiyah dalam memurnikan ajaran agama Islam, namun lebih dari itu kontribusi nyata dalam segala aspek bisa langsung di rasa oleh masyarakat pribumi khususnya di wilayah Yogyakarta di awal berdirinya yang kemudian pada perjalanannya mampu berkembang ke seluruh pelosok tanah air. Kehadiran Muhammadiyah tak di ragukan sebagai sebuah perlawanan terhadap kolonialisme.
            Sebagai sebuah perlawanan terhadap kolonialisme, lahirnya Muhammadiyah ternyata mampu berkontribusi nyata terhadap segala permasalahan bangsa ini, namun jika di hadapkan pada kenyataan akan kelihaian kolonialisme bertransformasi menuju neokolonialisme-imperialisme di era global ini maka sudah barang tentu Muhammadiyah harus bisa beradaptasi dengan musuh lama dengan ‘muka barunya’ dalam melakukan perlawanan, Muhammadiyah – dengan segala kontribusi yang sudah di berikan pada bangsa ini – haruslah mengeluarkan segala kemampuan terbaiknya untuk melawan neokolonialisme-imperialisme.

Di saat usia kemerdekaan bagsa Indonesia melewati angka 74 nyatanya menyisakan banyak PR, belum meratanya kesejahteran sosial, permasalahan pendidikan, kemiskinan dan jumlah pengangguran yang tak kunjung membaik, permasalahan kesehatan dan beberapa masalah lainnya seakan terus menjadi ‘momok’ nyata dalam perjalanan bangsa ini dan semuanya tentu sepakat  momok ini haruslah di perangi.
Momok yang di takuti bukan hanya Indonesia namun juga di banyak negara-negara dunia ketiga (di baca-negara berkembang), salah satu faktor dari munculnya momok ini di picu oleh faktor eksternal berupa penjajahan non fisik, dan memang penjajahan belumlah selesai, penjajahan ataupun imperialisme mampu bertransformasi ke berbagai bentuk dan berubah-ubah serta berusaha untuk terus menyesuaikan diri. Penjajahan yang dulunya dengan popor senapan bertransformasi menjadi penjajahan yang lebih terstruktur, penjajahan di segala bidang kehidupan. Jika invasi pada masa kolonial langsung menuju daerah-daerah jajahan maka penjajahan gaya baru tak harus bersinggungan langsung dengan lahan garapan jajahan barunya. Hak-hak rakyat seolah terpenuhi namun realitanya segala kekayaan tanah air di kuasai oleh para pemilik modal, kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah seringkali dianggap tidak mengakomodir kepentingan rakyat, inilah yang oleh Soekarno  dinyatakan sebagai neokolonialisme-imperialisme. Penjajahan gaya baru yang tidak terang-terangan, ia tidak dirasakan lansung oleh rakyat tetapi secara ekonomi-politik, sosial dan budaya mempengaruhi pola pikir dan segala sendi kehidupan kita sehari-hari.
            Gotong-royong yang selama ini menjadi ciri khas bangsa Indonesia lambat namun pasti mulai terikis berganti individualistik yang seakan mulai tercabut dari akar nilai budaya bangsa warisan para leluhur akibat penetrasi budaya barat yang kurang mampu di saring dengan baik. Sementara, berbagai aspek budaya mulai dari kesenian, pendidikan, bahasa dan pola hidup sekarang banyak dipengaruhi oleh hegemoni Barat—meski belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa. Dalam banyak hal kita hanya mampu menjadi penonton di negeri sendiri karena pemain utama adalah bangsa asing, sementara mejadi pemain cadangan pun kita masih banyak di pandang sebelah mata.
            Negara dalam hal ini seakan kurang berdaya dalam memainkan kekuasaannya – kalau tidak dikatakan dikendalikan – menghadapi segala bentuk penjajahan baru di belahan bumi Nusantara ini. Dengan segala pengalamannya, tidak berlebihan jika banyak yang menaruh harapan pada kiprah Muhammadiyah. Di usianya yang ke-107 Muhammadiyah sudah teruji ketangguhan serta daya jelajahnya, namun apabila Muhammadiyah tidak mensiapkan strategi baru dalam ‘pertempuran akhir zaman’ ini maka bukan hal yang tidak mungkin jika nantinya Muhammadiyah juga akan tergerus oleh keperkasaan globalisasi yang di tunggangi neokolonialisme-imperialisme - yang bisa jadi semakin hari semakin di kebiri, lantas kemudian hanya mampu meratapi kegagalan dalam ketidakberdayaan dalam puing kehancuran.
            Muhammadiyah di harapkan mampu membaca arah gerak para pejajah baru ini, apa yang menjadi tujuan utama dari para penjajah ini, mampu pula melihat di mana para penjajah biadab ini biasa bermain serta pola apa yang di mainkan dan di saat bersamaan Muhammadiyah mampu menakar potensi diri serta mempersiapkan langkah-langkah strategis. Mengingat neokolonialisme-imperialisme bertempur di ‘ranah’ strategi melalui kebijakan-kebijakan politik, maka dapat dikatakan hal ini adalah ‘Ghazwul Fikri (perang pemikiran), sebuah peperangan ideologi. Muhammadiyah di tuntut untuk bisa terus mengawal kebijakan-kebijakan publik agar kepentingan bangsa & negara serta kesejahteraan rakyat Indonesia bisa di atas segala kepentingan pribadi maupun golongan apalagi kepentingan asing.
            Kita tunggu kiprah Muhammadiyah selanjutnya, jika umur seseorang hakikatnya berkurang karena semakin mendekati kematian maka kita tentu tidak berharap hal ini terjadi pada Muhammadiyah, spirit kelahiran Muhammadiyah harus terus di pupuk. ‘Happy Birthday’ Muhammadiyah, Barokallah fii Umrik.


Oleh: Husni Zulkarnain, Mahasiswa Pascasarjana UMM, PAI

Komentar